Kearifan lokal dalam budaya Indonesia telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat di tanah air. Kearifan lokal ini mencakup nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma yang turun-temurun dari nenek moyang. Salah satu nilai yang terkandung dalam kearifan lokal adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang sejalan dengan sila kelima Pancasila.
Menurut Prof. Dr. Saparinah Sadli, seorang pakar sosiologi, kearifan lokal merupakan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Dalam konteks keadilan sosial, Saparinah Sadli mengungkapkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi landasan bagi terciptanya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu contoh nyata dari penerapan kearifan lokal dalam mendukung sila kelima Pancasila adalah adat istiadat masyarakat Sunda yang dikenal dengan istilah “gotong royong”. Prinsip gotong royong ini mengajarkan pentingnya kerjasama dan tolong-menolong antar sesama dalam membangun kehidupan bermasyarakat.
Menurut Bung Hatta, salah satu tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, gotong royong merupakan landasan dari keadilan sosial. “Gotong royong adalah semangat saling membantu dan saling melengkapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Bung Hatta.
Selain gotong royong, kearifan lokal lain yang mendukung keadilan sosial adalah semangat gotong sroyong dalam masyarakat Batak. Dalam budaya Batak, gotong sroyong menjadi prinsip utama dalam menjaga kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal dalam budaya Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam menopang sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dengan memahami dan menghargai kearifan lokal, kita dapat memperkuat fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan merata bagi semua warga negara.